Untukmu (ANJING) : sebuah fakta falsafah



Dalam hidup ini, kita sering lupa bahwa kesetiaan dan kemuliaan sejati terkadang hadir dari tempat yang tidak terduga. Salah satunya adalah dari seekor anjing. Ya, seekor anjing yang sering kita pandang hanya sebagai hewan peliharaan sederhana, bahkan sebagian besar dari orang menganggapnya hina karena bernajis dan haram dimakan, tapi jika kita dapat berfikir dan menelusuri lebih tentang hal positif yang dimiliki ANJING, sungguh bisa jadi lebih mulia dari manusia yang berkelakuan Hewan, sesungguhnya kita bisa menarik pelajaran besar tentang kesetiaan yang bahkan tak jarang sulit ditemukan dalam diri manusia sendiri.

Kisah nyata sering menunjukkan bagaimana seekor anjing tetap setia menunggu majikannya pulang, menjaga rumah tanpa keluh, atau bahkan menyelamatkan nyawa pemiliknya ditengah bahaya tanpa mengharapkan balasan apa pun. Bahkan dalam beberapa kasus ekstrim, ketika teman dekat atau rekan yang telah dipercaya justru menjadi pengkhianat, menipu, atau tidak menghormati seseorang yang seharusnya dihormati, sedangkan usiapun menunjukkan perbedaan yang (jika merujuk adat ketimuran) seyogianya lebih muda menghormati yang lebih tua, bagaimana pula bila seusia sebaya? sedangkan yang lebih berusia darinya saja tak dihormatinya, belum lagi tentang pengalamannya! apakah tak mampu sebagai manusia bersikap lebih baik dari ANJING? atau setidaknya bersikap sama (dalam arti positif), justru kesetiaan seekor anjing tetap utuh tanpa cacat, tidakkah lebih mulia anjing dari anda?.

Bukan hanya Koruptor, Pezina, Pelakor, Pebinor, dan lain sebagainya, tapi banyak lini profesi tercemar dengan kelakuan jenis manusia ini, Instansi Penegak Hukum Polri, Kejaksaan, Kehakiman, bahkan Rekan Sejawat Advokat/Pengacara, seanjing-anjingnya seekor Anjing akan sangat setia kepada Majikannya. jikapun anda-anda semua tersinggung dan mengartikan anjing yang bagaimana yang setia kepada majikannya? tentunya Anjing yang ketika ia kesusahan (merasa susah) dan diambil oleh majikannya (diselamatkan), dengan demikian menjadi memiliki tempat (bernaung dalam arti seluas-luasnya), belum terdapat suatu cerita apapun dimanapun kapanpun tentang anjing yang ketika diambil oleh majikannya tidak merasa terselamatkan, seekor anjing saja dapat merasakan kebaikan dan membalasnya dengan kesetiaan.

Anjing tidak pernah menghitung untung-rugi dalam sebuah hubungan. Tidak ada agenda tersembunyi di balik tatapan matanya yang tulus. Ia memberikan cintanya secara penuh tanpa syarat. Sebuah pelajaran penting tentang bagaimana seharusnya kita bersikap kepada sesama. Ironinya, sikap mulia ini semakin sulit ditemukan dalam kehidupan manusia modern yang serba penuh perhitungan.

Jika seekor anjing yang sering dianggap makhluk sederhana (bahkan dianggap hina) bisa berlaku setia dan menghormati dengan tulus, mengapa kita (anda) sebagai manusia yang dianugerahi akal dan hati nurani sering kali gagal melakukannya? tidakkah lebih baik anjing dari pada anda? Mengapa penghormatan, kesetiaan dalam persahabatan, bahkan rasa saling percaya justru sering kali tergadai oleh ego pribadi?

Mari belajar kembali dari seekor anjing—makhluk sederhana (dan katanya hina) yang mampu mengajarkan kemuliaan dan kesetiaan tanpa kata-kata, hanya melalui tindakan nyata penuh kasih sayang dan pengabdian tanpa batas.

Sebenarnya, tulisan ini bukan sekadar tentang membandingkan manusia dengan anjing, namun juga tentang introspeksi mendalam pada diri kita sendiri. Saat kita membaca dan memahami kisah tentang anjing yang begitu setia dan tulus, tidakkah kita merasa malu? Tidakkah kita merasa tergugah untuk mulai memperbaiki sikap dan perilaku yang selama ini mungkin terlalu mementingkan diri sendiri?

Anjing mungkin tidak memiliki kemampuan bicara seperti manusia, namun ia mampu memberikan pelajaran kehidupan dengan tindakan nyata. Kita yang diberikan kemampuan berpikir, berbicara, dan merasakan, justru sering gagal mengekspresikan kesetiaan dan ketulusan dalam kehidupan sehari-hari. Jika seekor anjing saja mampu menunjukkan kebesaran hati, bukankah kita yang dikaruniai akal dan nurani justru harusnya mampu lebih dari itu?

Sekarang saatnya kita bertanya pada diri sendiri, sudah seberapa tulus dan setiakah kita dalam hubungan sosial kita? Jangan-jangan, anjing yang selama ini kita anggap rendah itu, justru lebih tinggi derajatnya daripada kita dalam hal kesetiaan dan ketulusan.

Jujur saja, ketika membaca ini mungkin banyak dari kalian yang merasa tersinggung, marah, atau bahkan jijik karena dibandingkan dengan seekor anjing. Tapi tidakkah kalian berpikir bahwa mungkin saja anjing merasa lebih tersinggung dibandingkan dengan manusia yang korup, licik, penuh dusta, dan munafik? Anjing tak pernah berpura-pura setia hanya demi jabatan atau kekayaan. Anjing tidak akan menggigit tangan majikannya yang memberinya makan, berbeda jauh dari manusia yang sering menikam sahabatnya sendiri hanya demi secuil keuntungan.

Kita bicara tentang harga diri, gengsi, kehormatan—omong kosong! Nyatanya kita bahkan tak mampu menjaga kesetiaan sebaik anjing yang kalian anggap hina itu. Paradoks besar kehidupan: kalian jijik disebut "anjing," padahal perilaku kalian sering jauh lebih hina daripada hewan tersebut. Ironisnya, bahkan anjing mungkin menolak dibandingkan dengan manusia-manusia yang kehilangan kemanusiaannya ini.

Jadi, sebelum kalian marah, tersinggung, atau menutup mata terhadap kenyataan pahit ini, cobalah berkaca sejenak—atau jangan-jangan kalian sudah terlalu takut menghadapi wajah asli yang selama ini tersembunyi di balik topeng kesantunan palsu kalian?

Topeng kesantunan palsu kalian—ah, betapa menjijikkan! Setiap hari kalian berjalan dengan wajah penuh senyum palsu, menyebar salam manis yang hambar, padahal hati kalian penuh dengan racun kebencian, iri hati, dan pengkhianatan. Apakah kalian pikir orang lain tak bisa melihat melalui kepalsuan itu? Atau justru kalian sendiri yang sudah terlalu nyaman dalam kepura-puraan hingga lupa wajah asli kalian yang sebenarnya?

Kalian berpura-pura peduli padahal diam-diam merayakan penderitaan orang lain, menyamar sebagai orang terhormat padahal moralitas kalian bahkan lebih rendah dari makhluk yang paling kalian hina. Setiap pujian yang keluar dari bibir kalian tak lebih dari jebakan licik, setiap ungkapan simpati hanya kamuflase dari kegembiraan melihat orang lain jatuh.

Sudah saatnya kalian membuka topeng kesantunan palsu itu—tapi bisakah kalian menghadapi betapa buruknya wajah asli yang selama ini tersembunyi? Ataukah topeng itu kini sudah terlalu melekat kuat, hingga kalian takut kehilangan sandiwara hidup yang telah kalian ciptakan dengan begitu sempurna?

Anjing saja tahu malu—menjilat karena ia menginginkan sesuatu, namun lihatlah bagaimana ia membayar kembali. Ia membalas dengan kesetiaan abadi, menjaga dan melindungi majikannya dengan nyawa sekalipun. Itu adalah bentuk pertukaran yang adil dan jujur dalam kesederhanaannya. Tapi kalian, manusia-manusia yang licik, bukankah lebih memalukan lagi?

Kalian menjilat untuk mendapatkan sesuatu, berpura-pura ramah demi keuntungan sesaat, tetapi setelah itu apa yang kalian lakukan? Kalian menikam dari belakang, merusak kepercayaan yang telah diberikan, menghancurkan hubungan baik yang pernah terjalin, hanya untuk keuntungan yang sangat remeh.

Lebih buruk lagi, kalian bahkan tak merasa malu atas perbuatan tersebut. Anjing setidaknya tahu malu, tahu berterima kasih. Tapi kalian, dengan segala akal sehat dan nurani yang katanya diberikan Tuhan, mengapa justru berperilaku jauh lebih buruk dari hewan yang kalian anggap hina?

Tidakkah kalian merasa malu, setidaknya malu pada anjing yang kalian rendahkan itu?

REFERENSI
  1. Bernstein, M. (1991). Speciesism and loyalty. Diperoleh dari JSTOR.
  2. Haidt, J. (2001). The emotional dog and its rational tail: A social intuitionist approach to moral judgment. Diperoleh dari APA PsycNet.
  3. Topolski, R., Weaver, J.N., Martin, Z., & McCoy, J. (2013). Choosing between the emotional dog and the rational pal: A moral dilemma with a tail. Diperoleh dari Taylor & Francis.
  4. Fletcher, G.P. (1995). Loyalty: An essay on the morality of relationships. Diperoleh dari Google Books.
  5. Jollimore, T. (2012). On loyalty. Diperoleh dari Taylor & Francis.
  6. Avieli, N. (2011). Dog meat politics in a Vietnamese town. Diperoleh dari Ethnology.
  7. Pearson, C. (2016). Between instinct and intelligence: Harnessing police dog agency in early twentieth-century Paris. Diperoleh dari Cambridge University Press.
  8. Dunford, R. (1999). If you want loyalty, get a dog!: Loyalty, trust, and the new employment contract. Diperoleh dari Google Books.
  9. Pearson, C. (2016). Canines and contraband: Dogs, nonhuman agency and the making of the Franco-Belgian border during the French Third Republic. Diperoleh dari ScienceDirect.
  10. Gaita, R. (2016). The philosopher's dog. Diperoleh dari Taylor & Francis.

Comments

Popular posts from this blog

Tak diminta namun Berjanji, akibat janji menjadi Ekspektasi namun tak Terbukti : antara Menjijikkan atau Mengecewakan?

Pertanyaan Tanya, Hakikat Tanya dan Hidup dalam Pertanyaan